April 2, 2024 -

Finding Common Ground

By Asami Segundo

(This article is translated into Bahasa Indonesia and Tagalog below).

Life-changing.

Perhaps that’s the appropriate word to describe my recent trip in Bali. This is my second time to go visit the island but this time, it was more meaningful. I can divide my trip into two parts. The first one is the PRSGF Indonesia Grantees’ Gathering where I was given the opportunity to know amazing people working for and in the grassroot communities of Indonesia. I’ve met men who support women, making spaces to amplify women’s voices in their communities. I saw their selflessness and dedication to make their communities a better place and to make sure that every voices are heard. I’ve met women whose communities are affected by extractive industries yet they continue to resist and refuse to be not seen. There, I saw strength and resilience in the eyes of these ordinary women making extraordinary actions for their communities. I stayed in a room with a woman whose relentless dedication to resist these destructive industries threatening their village made her eat death threats for breakfast. Yet, despite all the death threats and blackmail threats, she still continues to defend the land and her people. She told me how she’s not afraid to die for what she’s fighting for, that she’d rather die with her dignity and principles intact than to die being blamed by the generations to come for the destruction she has allowed to happen.

For me, the grantees’ gathering was not just an assembly to exchange ideas and share experiences. It became a door-opener for me to see a bigger and detailed view of what is happening in my region. As an indigenous youth, it has fully inspired me to continue my work in advocacy, natural resources management and community development and reiterating what I believe that I still have a lot to learn. In this event, I  once again witnessed the power of storytelling. All we did was tell our stories yet I believe all of us have left the hotel with a fresh perspective and renewed motivation to continue our work in our own communities.

The second part of my Bali trip is perhaps my favorite. It’s when I went to visit fellow indigenous youth whom I have met last year and now call friends. Some years ago, a friend of mine once told me how she saw me “in my element” as I happily walk her through my community. Since then, I believe you get to see an inner side of a person when you see them in their homeland. Hence, it’s both a pleasure and a privilege to behold my friends in their land. I met with Rio, a creative mind documenting his village’s ways of life, and Andra, a clever young woman making sure to continue the legacy of her community. I went to their villages to immerse myself in their environment, listen to their stories and see them in their element. As I listen to them tell stories about their communities and their culture, it would first occur to me how different my community is to them–our ways of life, our beliefs, our language. Yet as we continued to share our stories, I realized we have a lot more in common than differences. We shared how we all had amazing childhood memories playing in the forests, in the rice paddies and with a loving community surrounding you. We too have witnessed how fast the changes are happening in our communities–from the conversion of rice paddies into high-value crop farms to the evident changes in our forests due to changes in the climate. We shared and named emotions many indigenous young people feel now. The nostalgia of the past, the gratitude for living in a beautiful land, the undeniable anxiety for what’s ahead, and the hope that we are not alone in this journey.

As I was preparing to go back home, I am amazed and awestruck how this trip has changed me. As I was trying to find common ground with the people I met during this trip. I realized that I need not to look further because our common ground is the ground itself–the land, the nature, the forests and everything that lives in it.


Menemukan Kesesuaian (Bahasa Indonesia)

Mengubah Hidup. 

Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan perjalanan saya ke Bali kemarin. Ini kedua kalinya saya mengunjungi pulau itu, tetapi kali ini lebih bermakna. Saya dapat membagi perjalanan saya menjadi dua bagian. Yang pertama adalah Pertemuan Penerima Hibah PRSGF Indonesia di mana saya diberi kesempatan untuk berkenalan dengan orang-orang luar biasa yang bekerja untuk dan di komunitas akar rumput di Indonesia. Dikesempatan itu, saya bertemu dengan laki-laki yang mendukung perempuan, memberikan ruang untuk memperkuat suara perempuan di komunitas mereka. Saya melihat sikap tidak mementingkan diri sendiri dan dedikasi mereka untuk membuat komunitas mereka menjadi tempat yang lebih baik dan memastikan bahwa setiap suara yang ada didengar. Saya juga bertemu dengan perempuan-perempuan yang komunitasnya terkena dampak industri ekstraktif namun mereka terus melawan dan menolak untuk diabaikan. Di sana, saya melihat kekuatan dan ketangguhan di mata para perempuan biasa yang melakukan tindakan luar biasa bagi komunitas mereka. Saya tinggal sekamar dengan seorang wanita yang dedikasinya tiada henti untuk melawan industri destruktif yang mengancam desa mereka, yang membuatnya menelan ancaman pembunuhan sebagai makanan sehari-hari. Namun, terlepas dari semua ancaman pembunuhan dan ancaman pemerasan, dia masih terus membela tanah air dan rakyatnya. Dia mengatakan kepada saya bagaimana dia tidak takut mati demi apa yang dia perjuangkan, bahwa dia lebih memilih mati dengan martabat dan prinsip yang utuh daripada mati karena disalahkan oleh generasi mendatang atas kehancuran yang dia biarkan terjadi. 

Bagi saya, pertemuan para penerima hibah bukan sekedar pertemuan untuk bertukar pikiran dan berbagi pengalaman. Pertemuan ini menjadi pembuka pintu bagi saya untuk melihat gambaran yang lebih besar dan mendetail tentang apa yang terjadi di negara saya. Sebagai pemuda adat, hal ini sangat menginspirasi saya untuk melanjutkan pekerjaan saya di bidang advokasi, pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan masyarakat serta penegasan kembali apa yang saya yakini bahwa saya masih harus banyak belajar. Dalam acara ini, saya sekali lagi menyaksikan kekuatan dari bercerita. Yang kami lakukan kemarin hanyalah menceritakan kisah kami, namun saya yakin kami semua telah meninggalkan hotel dengan perspektif baru dan motivasi baru untuk melanjutkan pekerjaan kami di komunitas kami sendiri. 

Bagian kedua dari perjalanan saya di Bali mungkin menjadi favorit saya. Yaitu saat saya mengunjungi sesama pemuda adat yang saya temui tahun lalu dan sekarang sudah menjadi teman saya. Beberapa tahun yang lalu, seorang teman saya pernah menceritakan kepada saya bagaimana dia melihat saya “dalam elemen saya” ketika saya dengan senang hati mengantarnya melewati komunitas saya. Sejak itu, saya yakin Anda bisa melihat sisi dalam seseorang ketika Anda melihatnya di lingkungannya. Oleh karena itu, merupakan suatu kesenangan dan kehormatan untuk melihat teman-teman saya di lingkungan mereka. Saya bertemu dengan Rio, seorang pemikir kreatif yang mendokumentasikan cara hidup desanya, dan Andra, seorang wanita muda cerdas yang selalu meneruskan warisan komunitasnya. Saya pergi ke desa mereka untuk membenamkan diri dalam lingkungan mereka, mendengarkan cerita mereka dan melihat elemen mereka. Saat saya mendengarkan mereka bercerita tentang komunitas dan budaya mereka, hal yang pertama kali terlintas di benak saya yaitu betapa berbedanya komunitas saya dengan mereka–cara hidup kami, kepercayaan kami, bahasa kami. Namun ketika kami terus berbagi cerita, saya menyadari bahwa kami memiliki lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Kami menceritakan bagaimana kami semua memiliki kenangan masa kecil yang menakjubkan saat bermain di hutan, di sawah, dan dengan komunitas penuh kasih di sekitar kami. Kami juga telah menyaksikan betapa cepatnya perubahan yang terjadi di masyarakat kami–mulai dari konversi sawah menjadi lahan pertanian bernilai tinggi hingga perubahan nyata pada hutan kita akibat perubahan iklim. Kami berbagi dan menyebutkan emosi yang dirasakan banyak anak muda adat saat ini. Nostalgia masa lalu, rasa syukur karena hidup di negeri yang indah, kegelisahan yang tak terbantahkan akan masa depan, dan harapan bahwa kita tidak sendirian dalam perjalanan ini. 

Saat saya bersiap untuk pulang ke rumah, saya kagum dan terpesona bagaimana perjalanan ini telah mengubah saya. Saat saya mencoba mencari titik temu dengan orang-orang yang saya temui selama perjalanan ini. Saya menyadari bahwa saya tidak perlu melihat lebih jauh karena kesamaan kita adalah tanah itu sendiri–tanah, alam, hutan, dan segala sesuatu yang hidup di dalamnya.


Ang mga Lupaing Nag-uugnay sa Atin (Tagalog)

Life-changing.

Ito na marahil ang angkop na katagang maglalarawan sa kabuuan ng aking naging paglalakbay sa Bali. Pangalawang pagbisita ko na ito, ngunit ngayon ay masasabi kong naging mas makabuluhan ito kaysa sa unang pagkakataon. May dalawang kabanata ang aking paglalakbay. Una, nabigyan ako ng pagkakataong sumama sa Pastor Rice Small Grants Fund (PRSGF) Indonesia Grantees Gathering kung saan nakilala ko ang iba’t ibang mga taong nagtatrabaho para at kasama ng mga katutubo at mga lokal na komunidad sa Indonesia. Nakatagpo ako ng mga kalalakihang sumusuporta sa kababaihan, at tumutulong na magkaroon ng espasyo para sa pagpapalakas ng boses ng kababaihan sa kanilang mga komunidad. Nasilayan ko kung paano nila inuuna ang kanilang komunidad kaysa sa kanilang mga sarili, inilaan ang kanilang mga buhay upang mapabuti ang kalagayan ng kanilang mga komunidad at tinitiyak na bawat boses ay naririnig. Nakilala ko doon ang mga kababaihang mula sa mga iba’t ibang komunidad na pinapahirapan ng mga masasamang epekto ng mga extractive industries (halimbawa nito ang mga industriyang kumukuha ng mga mineral, bakal, gas, langis) ngunit patuloy na lumalaban at tumututol na matabunan na lamang ang kanilang mga boses at buhay. Nakita ko ang angking lakas at katatagan sa mga mata ng mga ordinaryong kababaihan na gumagawa ng ekstra ordinaryong mga aksyon para sa kanilang mga komunidad. 

Kabahagi ko ng kwarto ang isang kababaihang hindi nagpapatinag at patuloy na nilalabanan ang mga mapanirang mga industriyang nais sirain ang kanilang komunidad, kahit pa siya ay humaharap sa death threats. Patuloy niyang pinaglalaban ang kanilang lupaing ninuno at karapatan ng kanyang komunidad, sa kabila ng mga death threats at blackmail. Kanyang ibinahagi sa akin na hindi siya natatakot mamatay para sa pinaglalaban niya, na mas gugustuhin niya pang mamatay ng may paninindigan sa dignidad at prinsipyo niya, kaysa sisihin siya ng mga susunod na henerasyon sa pagkasirang hinayaan niyang mangyari. 

Para sa akin, ang pagtitipong ito ay hindi lamang para magpalitan ng mga ideya at magbahagi ng mga karanasan. Nagbukas ito ng mas malawak at detalyadong pagtingin sa mga nagaganap sa aking rehiyon. Bilang isang kabataang katutubo, lubusan nitong napukaw ang aking damdamin na ipagpatuloy ang aking gawain sa adbokasiya, pangangasiwa ng likas na yaman, at pagpapaunlad ng komunidad, gayundin ang pagsang-ayon sa aking paninindigan na marami pa akong dapat matutunan. Sa event na ito, muli kong nasaksihan ang kapangyarihan ng pagkukuwento. Sa kabuuan ay nagbahagi lamang kami ng aming mga kuwento’t salaysay, ngunit naniniwala akong umuwi kaming may panibagong pananaw at mas nag-aalab na pagnanais na ipagpatuloy ang mga gawain sa aming mga komunidad. 

Ngunit papunta pa lamang tayo sa paborito kong kabanata ng paglalakbay sa Bali. Sa pangalawang bahagi ay binisita ko ang mga kapwa ko katutubong kabataan na aking nakilala noong nakaraang taon, at masasabi kong mga kaibigan ko na. May kaibigan akong nagsabi sa akin noon na ako raw ay nasa “elemento ko” (o nasa lugar, sitwasyon o estado na pinaka komportable at maligaya) noong ipinasyal ko siya sa aking komunidad. Simula ng masabi sa akin iyon, naniniwala na ako na makikilala mo lamang ng lubos ang isang tao kapag nakasama mo sila sa lugar na pinagmulan o kinalakihan nila. Kaya naman isang kaluguran at pribilehiyo na makasama ang aking mga kaibigan sa kanilang lupaing kinagisnan. Una akong nakipagkita kay Rio, isang kabataang malikhain, na itinatala ang pamumuhay ng kaniyang komunidad sa pamamagitan ng pagkuha ng mga litrato at video. Matapos nito ay binisita ko si Andra, isang matalinong kabataang kababaihan na nais ipagpatuloy na protektahan ang pamana ng kanyang mga ninuno. Nagpunta ako sa kanilang mga komunidad para maibabad ko ang aking sarili sa kanilang kinagisnang kapaligiran, makinig sa kanilang mga kuwento, at makita sila sa kanilang likas na elemento. Noong nag-umpisa silang magkuwento tungkol kanilang mga komunidad at kultura, pumasok sa isip ko ang pagkakaiba nila sa komunidad na kinagisnan ko – ang aming pamumuhay, paniniwala, at wika. Ngunit sa kanilang pagpapatuloy, napagtanto ko na marahil mas marami pala kaming pagkakapareho kaysa pagkakaiba. Lumabas ang mga magkahawig na karanasan bilang mga kabataan na malayang naglalaro sa kagubatan at kabukiran, kapiling ng isang komunidad na pinapahalagahan kami. Pare-pareho naming nasisilayan kung paano mabilis na nagbabago ang aming mga komunidad – mula sa mga tradisyunal na kabukiran na pinalitan ng mga high-value crops, hanggang sa mga malaking pagbabago ng aming mga kagubatan dahil sa mga epekto ng pagbabago ng klima. Ibinahagi din namin sa isa’t isa ang mga pinapasan na damdamin ng mga kabataang katutubo tulad namin. Ilan dito ay ang mga alaala ng nakaraang pamumuhay at kalikasan, ang pagkilala na lumaki kami sa magandang lupain, ang hindi maikakaila na pagkabalisa sa hinaharap, at ang pag-asang hindi kami nag-iisa sa paglalakbay na ito.

Habang naghahanda sa pag-uwi, doon ko naramdaman ang pagkamangha at paghanga sa kung paano ako nabago ng pagbisitang ito. Sa aking paghahanap ng bagay na mag-uugnay sa akin at sa mga taong nakilala ko sa byaheng ito, napagtanto ko na hindi ko na kailangan tumingin sa malayo dahil ang mag-uugnay sa amin ay ang lupain mismo – ang lupa, ang kalikasan, ang kagubatan at ang saribuhay na tinatawag itong tahanan. 

< Return to listing

Green Intermediaries